Minggu, 23 November 2014

PK-22 Dalam Cerita

oleh: Fahim Khasani*

Tepat pukul 07.00 Wib peserta program Persiapan Keberangkatan (PK) awardee LPDP berkumpul di Wisma Hijau kawasan Cimanggis-Depok. Sebuah keberuntungan yang tak ternilai bisa bertemu dengan para awardee yang datang dari berbagai penjuru Indonesia, mulai dari Aceh sampai ujung Papua. Sebelumnya kami hanya bisa komunikasi lewat milis, Email, WA dan Line. Hari pertama lebih banyak digunakan untuk berkenalan. Meski sebelumnya sudah saling menyapa dan saling bertukar identitas di dunia maya,namun bertemu secara langsung tetap memberi kesan yang berbeda.

Program PK yang diselenggaakan oleh LPDP bertujuan untuk memberi bekal para awardee, penguatan mental,menanamkan nilai-nilai positif, semangat nasionalisme dan menguatkan karakter kepemimpinan. Narasumber yang diundang pun bukan sembarang orang. Mereka adalah tokoh inspiratif yang sudah banyak berkontribusi untuk Indonesia dan berwawasan luas. Banyak hal baru yang kami dapat, bahkan yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Kamis, 06 November 2014

Teks Al-Qur'an; Sebuah Dialektika Kalam dan Alam

[Pembacaan Atas Walid Munir]



Prolog
Sebagai kalam Ilahi, Al-Qur'an tak henti-hentinya menarik perhatian para pengkaji. Semenjak 14 abad silam, tepat setelah ayat-ayat ilahi itu diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, Al-Qur'an sudah mendapat tempat tersendiri di mata sahabat. Ia dibaca, dihafal, bahkan dituliskan di atas batu, pelepah kurma, tulang kambing, unta atau apapun media yang bisa dipakai untuk mengabadikannya ke dalam bentuk tulisan. Sebuah perhatian yang barangkali tidak pernah terjadi pada teks selain Al-Qur'an.

perhatian umat islam terhadap Al-Qur'an ini telah berhasil membangun sebuah peradaban yang kemudian disebut peradaban islam. Al-Qur'an sebagai wahyu Tuhan telah banyak mengilhami sarjana muslim untuk meramu berbagai ilmu. Tidak bisa dipungkiri bahwa keilmuan islam yang berkembang sedemikian pesat, pada hakikatnya adalah manifestasi dari pancaran kalam Tuhan itu.

Agama, Manusia Dan Kemanusiaan

Oleh: Fahim Khasani

Diantara materi-materi yang lain, disinyalir pembahasan agama adalah yang paling membingungkan dan tidak memiliki ujung. Selain rentan untuk disalah fahami dan acapkali rawan mendapat legitimasi buruk dari yang tidak sepaham. Sebab ia berhubungan erat dengan Tuhan dan hal-hal yang sakral. Berbeda dengan ilmu sosial atau sains misalnya, ketika sebuah teori yang baru ditemukan disinyalir mengandung kesalahan metodologis atau sejenisnya, saintis bisa cukup lega. Tak kan ada yang menuduhnya sebagai musuh ilmu, atau murtad dari pakem saintis yang bisa menjerumuskan dirinya ke dalam praktek pembunuhan yang dilegalkan.

Namun, tak demikian dengan pemikiran agama. Barangkali kesalahan yang sedikit salah-salah bisa mendapat vonis fâsiq, mulhid dan bisa jadi kafir. Malaikat maut pun seakan cepat tanggap mendengar istilah-istilah itu. Tak ada yang memungkiri bahwa agama diturunkan oleh Allah sebagai penunjuk jalan kehidupan. Meski tak banyak yang menyadari bahwa agama bisa dipahami dan dijalankan oleh sebegitu banyak pengikutnya salah satunya adalah hasil kerja nalar manusia. Dengan kata lain, agama adalah teosentris jika ditinjau dari pangkal dan sumber, sekaligus antroposentris jika dipandang dari sisi terapan. Sehingga agama yang manusia pahami saat ini tidak sepenuhnya benda langit yang jatuh ke bumi. Melainkan perpaduan antara unsur ‘langit’ yang sudah membumi, teoantroposentris. [1]Sehingga aksi pengkafiran sebenarnya adalah sikap paling arogan manusia yang mensejajarkan dirinya dengan Tuhan sebagai pemilik hak penuh atas manusia.

Bahasa Agama dan Politik

Bahasa Agama dan Politik

Oleh: Fahim Khasani



Revolusi yang terjadi di berbagai negara arab membuat peta perpolitikan kawasan Timur tengah berubah total. Pasca revolusi, muncul semacam trauma atas tipologi kepemimpinan masa lalu yang cenderung diktator dan kebal kritik. Ini merupakan kesempatan emas bagi kelompok-kelompok yang dulu pernah tertindas dan dikebiri hak-hak politiknya untuk unjuk diri. Tak hanya itu, partai-partai baru dengan berbagai macam ideology yang diusung tak mau kalah. Mereka mulai bermunculan dan menjamur bak cendawan tersiram air hujan.


Saat itu panggung politik lebih seperti panggung pencarian bakat yang lagi marak di layar kaca. Betapa tidak, partai-partai itu menjajakan semua yang mereka janjikan sesuai dengan ideologi masing-masing. Kaum nasionalis bangga dengan slogan nasionalisme yang mereka agung-agungkan. Kaum liberal sibuk dengan slogan pembebasannya. Kaum islamis tak mau kalah dengan semangat yang berkobar jargon-jargon islam lantang mereka suarakan. Dan kaum-kaum lainnya yang turut meramaikan panggung politik.

Minggu, 15 Juli 2012



Takwil; Antara Teologi dan Teosofi

Oleh: Fahim Khasani

Terma takwil adalah tema yang krusial dalam diskursus Tafsir. ia menempati posisi yang sentral guna mengharmonisasikan kontradiksi antara Al-Aql dan al-Naql. Al-Qur'an dengan tabiat bahasa arabnya tidak mungkin untuk dipahami secara lugu. Klasifikasi tentang ayat Muhkamat dan Mutasyabihat secara tersirat mengindikasikan hal itu. Meski ada sebagian pakar mengatakan bahwa ayat Mutasyabihat bisa dipahami oleh mereka yang sampai pada tingkat pemahaman yang tinggi (al-Rasikhun fi al-Ilm).[1] Al-Qur'an terlalu agung jika hanya didekati dengan makna literal. Pendekatan seperti itu terbukti tidak mampu untuk menjawab kegelisahan yang selama ini bermunculan. Tema tentang ilahiyyat menjadi bukti yang tidak bisa dipungkiri.


Al-Qur'an diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan menggunakan bahasa arab, bahasa manusia.[2] Hal ini tidak lain adalah agar manusia bisa memahami maqashid yang hendak disampaikan melalui susunan ayat-ayatNya. Namun justru dari sana muncul sebuah problema. Al-Qur'an dalam berbagai ayat yang berisi tentang ilahiyyat menggunakan diksi yang sarat dengan dimensi manusia yang serba terbatas, jauh dari sifat-sifat Tuhan yang maha Jalal dan Jamal itu. Semisal kata Al-Yad, al-Wajh, al-Dhahir, al-Bathin dan lain sebagainya.

Selasa, 10 April 2012


Spirit Revolusi Al-Qur’an

Oleh: Fahim Khasani

Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban islam adalah peradaban teks. Ini bukan berate sebuah ‘teks’ dengan sendirinya melahirkan peradaban, namun ia lebih menjurus ke dialektika antara teks dengan realita yang hidup (al-Waqi’ al-Ma’asy). Sebuah dialektika yang mampu merubah tata moral-sosial secara menyeluruh sampai pada aspeknya yang paling dalam. Hanya dalam kurun waktu 2 dekade al-Qur’an mampu merubah moralitas bangsa Arab-jahily. Sebuah masyarakat yang menggunakan hukum rimba sebagai tolak ukur, yang kuat meraja dan yang lemah merana. Sungguh merupakan revolusi sosial yang sangat cepat dan tepat.

Kondisi masyarakat arab era jahily memang sudah melenceng jauh dari sifat manusiawi. saling bunuh merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan terhadap anaknya sendiri. Sejarah merekam ketika seorang ibu melahirkan anak perempuan, tanpa pikir panjang dikubur bayi perempuan tak berdosa itu. Sebab melahirkan anak perempuan dianggap sebagai aib yang sangat memalukan bagi bangsa petarung seperti mereka.


Mengaku Nabi

Oleh: Fahim Khasani

I
Persoalan nabi palsu bukanlah hal yang baru dalam fenomena perjalanan Islam. Ia muncul –bahkan- saat Nabi Muhammad Saw masih sugeng. Adalah Musailamah al-Kadzab (12 H) dari Bani Hanifah dan Al-Aswad al-'Anasiy (12 H) dari Shan'a, Yaman, orang yang mengaku mendapat wahyu dan menjadi nabi. Musailamah dengan segenap kemampuan nyleneh yang dimiliki mendeklarasikan diri sebagai utusan Tuhan untuk meringankan beban Nabi Muhammad Saw menyebarkan agama islam. Tak hanya itu, ia juga mendaku bahwa malaikat Jibril menurunkan kitab suci untuknya yang serupa dengan Al-Qur'an.

Kasus Musailamah adalah salah satu dari sejumlah kasus munculnya nabi palsu yang pernah terjadi. Dewasa ini kasus nabi palsu juga terjadi di Indonesia. Sebut saja Lia aminudin (Lia Eden), Ahmad Mukti (adik Lia Eden) dan Ahmad Mosaddeq (H Abdussalam). Nama-nama tersebut pernah menjadi headline di berbagai media massa
lantaran pengakuannya yang tergolong aneh dan nyleneh, mengaku nabi. label sesatpun langsung dialamatkan kepada mereka.


Fenomena mengaku nabi ternyata merata, terjadi di hampir seluruh Negara yang penduduknya mayoritas muslim. Entah apa faktor yang melatarinya, yang jelas hal tersebut adalah sebuah problem yang harus disikapi dengan baik dan bijak. Meski demikian api yang mereka mereka nyalakan dapat dipadamkan dengan mudah. Sebab Sudah merupakan kesepakatan final, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Pamungkas dari segenap nabi yang diutus oleh Allah Swt. Ini berarti tidak akan ada nabi baru yang datang setelahnya. Kesepakatan ini muncul bukan tanpa dalil. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an dan beberapa riwayat hadits membuktikan hal itu.